Sistem
Magnitudo
Ketika kita melihat langit malam, akan kita dapati bermacam benda
langit yang terangnya berbeda-beda. Bagaimana caranya agar kita dapat
mengetahui perbandingan terang antara objek yang satu dengan yang lain? Di
astronomi, kecerlangan benda langit dinyatakan dengan skala magnitudo. Dengan
sistem ini juga, kita dapat menghitung perbandingan kecerlangan dua benda
langit yang berbeda. Lalu bagaimana sistem magnitudo ini bekerja?
Jaman dahulu ketika belum ada listrik dan lampu, penduduk/perumahan
belum banyak, lingkungan sekitar tidaklah seterang sekarang. Malam hari menjadi
sangat gelap sehingga langit malam tampak lebih indah karena tidak ada polusi
cahaya. Ketika cuaca cerah, orang dapat menikmati hiburan yang menakjubkan di
layar lebar langit malam. Ribuan bintang, nebula dan gugus bintang yang
terlihat sebagai awan kabut kecil, dan pita putih Bima Sakti, menghiasi
angkasa. Sejarah ditemukannya sistem magnitudo untuk menentukan kecerlangan
bintang dimulai dari kondisi seperti itu. Banyak yang bisa dilakukan dengan
langit pada saat itu.
Sekitar tahun 150 SM, seorang astronom Yunani bernama Hipparchus
membuat sistem klasifikasi kecerlangan bintang yang pertama. Saat itu, ia
mengelompokkan kecerlangan bintang menjadi enam kategori dalam bentuk yang
kurang lebih seperti ini: paling terang, terang, tidak begitu terang, tidak
begitu redup, redup dan paling redup. Hal tersebut dilakukannya dengan membuat
katalog bintang yang pertama. Sistem tersebut kemudian berkembang dengan
penambahan angka sebagai penentu kecerlangan. Yang paling terang memiliki nilai
1, berikutnya 2, 3, hingga yang paling redup bernilai 6. Klasifikasi inilah
yang kemudian dikenal sebagai sistem magnitudo. Skala dalam sistem magnitudo
ini terbalik sejak pertama kali dibuat. Semakin terang sebuah bintang,
magnitudonya semakin kecil. Dan sebaliknya semakin redup bintang, magnitudonya
semakin besar.
Sistem tersebut kemudian semakin berkembang setelah Galileo dengan
teleskopnya menemukan bahwa ternyata terdapat lebih banyak bintang lagi yang
lebih redup daripada yang bermagnitudo 6. Skalanya pun berubah hingga muncul
magnitudo 7, 8 dan seterusnya. Namun penilaian kecerlangan bintang ini belumlah
dilakukan secara kuantitatif. Semuanya hanya berdasarkan penilaian visual
dengan mata telanjang saja.
Pada tahun 1856 berkembanglah perhitungan matematis untuk sistem
magnitudo. Norman Robert Pogson, seorang astronom Inggris, memberikan rumusan
berbentuk logaritmis yang masih digunakan hingga sekarang dengan aturan seperti
berikut. Secara umum, perbedaan sebesar 5 magnitudo menunjukkan perbandingan
kecerlangan sebesar 100 kali. Jadi, bintang dengan magnitudo 1 lebih terang 100
kali daripada bintang dengan magnitudo 6, dan lebih terang 10000 kali daripada
bintang bermagnitudo 11, begitu seterusnya. Dengan rumusan Pogson ini,
perhitungan magnitudo bintang pun menjadi lebih teliti dan lebih dapat dipercaya.
Seiring dengan semakin majunya teknologi teleskop, magnitudo untuk
bintang paling redup yang dapat kita amati semakin besar. Contohnya, Hubble
Space Telescope memiliki kemampuan untuk mengamati objek dengan magnitudo 31!
Tetapi walaupun bukan lagi nilai terbesar, magnitudo 6 tetap menjadi nilai
penting hingga kini karena inilah batas magnitudo bintang yang paling redup
yang dapat diamati dengan mata telanjang. Tentunya dengan syarat langit,
lingkungan, dan mata yang masih bagus.
Sama seperti perkembangan yang terjadi pada magnitudo besar,
magnitudo kecil juga mengalami ekspansi seiring dengan semakin majunya teknologi
detektor. Dalam kelompok magnitudo 1 kemudian diketahui terdapat beberapa
bintang tampak lebih terang dari yang lainnya sehingga muncullah magnitudo 0.
Bahkan magnitudo negatif juga diperlukan untuk objek langit yang lebih terang
lagi. Kini diketahui bahwa bintang paling terang di langit malam adalah Sirius,
dengan magnitudo -1,47. Magnitudo Venus dapat mencapai -4,89, Bulan purnama
-12,92, dan magnitudo Matahari mencapai -26,74! Untuk melihat daftar bintang-bintang terang, silahkan lihat gambar dibawah ini
Sistem ini membuat kecerlangan bintang yang kita lihat
bukan kecerlangan bintang yang sesungguhnya. Untuk mengoreksinya, faktor jarak
itu harus dihilangkan. Maka muncullah sistem magnitudo mutlak.
Magnitudo mutlak adalah magnitudo bintang jika bintang tersebut
berada pada jarak 10 parsek. Nilainya dapat ditentukan apabila magnitudo semu
dan jarak bintang diketahui. Dengan “menempatkan” bintang-bintang pada jarak
yang sama, kita bisa tahu bintang mana yang benar-benar terang. Sebagai
perbandingan, Matahari, yang memiliki magnitudo semu -26,74, hanya memiliki
magnitudo mutlak 4,75. Jauh lebih redup daripada Betelgeuse yang memiliki
magnitudo semu 0,58 tetapi memiliki magnitudo mutlak -6,05 (135.000 kali lebih
terang dari Matahari).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar